waroengmedia.com – Mendapatkan gelar doktor ibarat mengarungi lautan. Setiap gelombang merupakan tantangan yang membutuhkan ketahanan mental. Banyak orang berjuang selama bertahun-tahun, menghabiskan pikiran dan kekuatan mereka, untuk mencapai puncak. Belum lagi selama perjalanan banyak yang harus melewati berbagai rintangan. Dari penelitian hingga kebingungan dalam menghadapi penyesuaian demi arahan.
Namun, bagi sebagian orang, jalur peningkatannya mungkin lebih cepat. Ibarat menghirup udara segar, mampu terbang dalam waktu singkat. Sayangnya, hal ini membuat kita bertanya-tanya apakah gelar PhD kini bisa diraih dalam semalam?
Muhammad Hafizurrachman Syarief, mahasiswa program doktor Ilmu Kedokteran, berhasil menorehkan prestasi besar dalam sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan menyelesaikan studinya dalam waktu singkat yakni 1 tahun 7 bulan. mengingat studi doktoral umumnya berlangsung antara 3 hingga 4 tahun. dari skor rata-rata 3,76.
Atas prestasi tersebut, Museum Arsip Indonesia (MURI) memberikan penghargaan kepada Hafizurrachman yang juga merupakan Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Acara penyerahan penghargaan dilaksanakan di Aula Fakultas Kedokteran UGM. Tentu saja ini merupakan momen yang membanggakan.
Apalagi, Bahlil Lahadalia baru bisa meraih gelar doktor hanya dalam waktu satu setengah tahun. Mungkin kita harus bertanya pada diri sendiri: adakah yang bisa lebih cepat dari ini? Atau mungkin dokter hanya sekedar label yang bisa dibeli dengan cepat?
Foto: Instagram/@sksg_ui
Prestasi yang diraih Hafizurrachman sangat membanggakan. Lalu bagaimana dia mencapai kesuksesan tersebut?
Dilansir waroengmedia.com dari laman ugm.ac.id, Hafizurrachman mengatakan, semua ini merupakan hasil kerja keras dan kedisiplinan. “Kesuksesan tidak terjadi secara tiba-tiba, namun merupakan hasil usaha,” ujarnya.
Namun di sisi lain, ada pula yang berlari secepat pelari maraton namun tidak memahami arti dari setiap langkah yang diambilnya. Obat instan bisa membuat kita mempertanyakan kualitas dan bahan dibaliknya.
Mengapa Hafizurrachman bisa menyelesaikan studinya dengan cepat? Dijelaskannya, sebelum kuliah, ia mengikuti program perkuliahan di FK UGM sehingga menghemat waktu satu semester. Beliau mengambil 6 SKS di tiga universitas berbeda. Namun, ia menegaskan kesuksesannya tidak datang dari hal itu saja. Ia tidak menemui banyak kendala dalam menyelesaikan skripsinya, yang seringkali menjadi kendala bagi mahasiswa lainnya.
Sebagai dosen yang mengajar metode penelitian, Hafizurrachman merasa siap dan tidak bingung ketika harus menulis skripsi. Dia mempersiapkan proyek penelitiannya dari awal dan mulai mengerjakannya selangkah demi selangkah.
“Skripsi saya mencapai 700 halaman dengan 300 referensi. Saya menulis 1 hingga 2 halaman setiap hari dengan disiplin,” kutip waroengmedia.com dari laman ugm.ac.id (17/10).
Pengalaman sebelumnya di Universitas Negeri Jakarta juga sangat membantu. “Sebagai orang yang punya pengalaman menikah, kalau menikah lagi pasti lebih paham,” ujarnya. Meski tak menyangka bisa lulus secepat itu, ia bersyukur atas keberhasilannya.
Hafizurrachman juga mengatakan bisa lebih cepat. Ia meminta tanggal ujian lebih awal, namun disarankan untuk menundanya agar tidak menimbulkan keributan. Sembari menunggu wisuda, ia dengan gembira mengikuti pemilihan rektor UGM dan bercanda mengenai pengambilan sumpahnya.
Di sisi lain, ada Willy Abdillah yang meraih gelar doktor termuda di usia 32 tahun dengan rata-rata 3,95 dalam waktu 3 tahun 1 bulan. Willy tumbuh di keluarga sederhana dan meraih gelar sarjana bukanlah perjalanan yang mudah. Meski orang tuanya tidak mengizinkannya untuk kuliah, namun ia tidak putus asa dan terus berjuang hingga mampu masuk perguruan tinggi.
Willy menjelaskan, studi doktoralnya memerlukan proses yang panjang dan berbeda dengan gelar sarjana atau magister. Yang penting kelola diri sendiri, kutip waroengmedia.com. Selain itu juga mampu mempercepat masa studi melalui program khusus mengundang lulusan terbaik untuk mengikuti langsung program doktor. Namun kita juga tidak bisa menutup mata dengan banyaknya masyarakat yang melarikan diri tanpa meninggalkan dampak yang berarti.
Saat ditanya bagaimana perasaannya menjadi mahasiswa termuda dan meraih IPK tertinggi, Willy menilai dirinya beruntung. Ia meyakini keberhasilan tersebut bukanlah tujuan utama, melainkan tantangan untuk menunjukkan hasil yang lebih baik di masa depan. “Keberhasilan tidak hanya diukur dari seberapa cepat atau lambatnya Anda lulus, namun juga dari kualitas dan kontribusi yang dapat Anda berikan,” tutupnya.
Dengan beragam prestasi yang dimiliki, kita bertanya-tanya apakah kedokteran kini menjadi permainan yang cepat, atau hanya diperuntukkan bagi mereka yang giat dan disiplin, seperti Hafizurrachman.