waroengmedia.com – Kasus bullying terbaru Alia Risma, mahasiswa Program Studi Anestesiologi (PPDS) Universitas Semarang Diponegoro (Andip) terus menarik perhatian masyarakat. Baru-baru ini, Nuzmatun Malina, ibu mendiang, buka-bukaan soal sejumlah fakta mengejutkan saat putrinya sedang menempuh studi peminatan. Yang perlu dipikirkan adalah seberapa besar kontribusi Alia selama menjalani PPDS
Kuasa hukum keluarga almarhum, Misyal Ahmad menuturkan, total biaya yang dikeluarkan Alia selama bersekolah di India mencapai angka yang signifikan. Jumlahnya tercatat sebesar Rp 225 juta, meski belum diketahui secara pasti penggunaannya Fakta ini sungguh menimbulkan pertanyaan besar mengenai transparansi penggunaan dana tersebut
“Sudah kami kirim ke penyidik, tapi belum tahu penggunaannya berapa. Bukti rekening bank sudah kami kirimkan ke penyidik,” kata Misyal kepada waroengmedia.com dari Antara, Kamis. /9)
Foto: Liputan6.com
Ibunda almarhum, Nuzmatun Malina membenarkan, putrinya rutin diliburkan untuk amal PPDS. Ia mengaku telah mengirimkan bukti rekening koran kepada penyidik sebagai bagian penyidikan atas kejadian tersebut. Kehadiran ini memperkuat dugaan adanya pungutan liar dalam program pendidikan
Nujmatun menjelaskan, iuran PPDS sudah ditransfer sejak semester pertama Dia membenarkan jumlah yang ditransfer berbeda-beda dan dilakukan setiap bulannya Hal ini menandakan mahasiswa PPDS mempunyai beban keuangan yang berat
“Itu besar di babak pertama. Itu akan terjadi di babak kedua, tapi tidak sebesar mereka. Tidak.
Selain masalah keuangan, Nuzamatun juga membeberkan perlakuan buruk yang dialami putrinya selama menerima PPDS Alia sering mengeluh kelelahan karena jadwal PPDS yang padat, ujarnya. Keadaan tersebut menyebabkan Alia mengalami kecelakaan mobil karena sangat mengantuk setelah menyelesaikan pekerjaannya
Yang memprihatinkan, meski dalam kondisi pasca operasi akibat kecelakaan mobil, Alia tetap mendapat perawatan kritis dari orang tuanya. Nujmatun menggambarkan perlakuan brutal yang diterima putrinya, meski secara fisik dia tidak sehat.
Foto: Merdeka.com
“Saat punggung dan kaki saya sakit, saya masih harus berteriak karena terlambat berangkat kerja, saya disuruh membawa makanan dan minuman dari lantai satu ke lantai dua. Kursi roda tidak boleh. Harus bawa sendiri, itu kejam,” ujarnya Kamis. (19/9) Merdeka mengutip waroengmedia.com.
Nuz Jamatun juga mengatakan, Alia didenda oleh atasannya karena berdiri selama satu jam. Saat ia mengadu kepada ketua kursus tentang pengobatannya, jawaban yang didapatnya mengecewakan dan menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap kondisi Alia.
Ia kecewa dengan respon pihak kampus yang menganggap perlakuan seperti biasa. Nuz Jamatun mempertanyakan aspek kemanusiaan dalam proses pendidikan yang harus mengutamakan kesejahteraan peserta didik
“Sebenarnya ketua program menjawab, ‘Saya berdiri selama lima jam. Bayangkan kaki anak saya bengkak dan dia diminta berdiri selama satu jam.’
Foto: freepik.com
Nuzmatun menegaskan, kondisi fisik Alia sangat sehat sebelum mendapat anestesi PPDS di Undip. Ia memastikan putrinya tidak pernah sakit selama menempuh pendidikan menjadi dokter umum dan bekerja di RSSD Kardina Tegal. Perubahan drastis terjadi setelah Alia mengikuti program PPDS
Meski beberapa kali melaporkan penganiayaan tersebut kepada ketua kursus, Nuz Zamatun mengaku penganiayaan yang dilakukan Alia terus berlanjut. Ia menyoroti perubahan perilaku putrinya yang kerap ketakutan dengan teriakan dan gosip
“Saya biasanya mendidik anak-anak saya dengan sopan. Saat ikut PPDS, anak-anak saya takut.