waroengmedia.com – Pesantren seringkali menjadi tujuan utama banyak orang tua yang ingin anaknya mengenyam pendidikan agama. Namun seiring berjalannya waktu, muncul masalah serius yang tidak bisa diabaikan begitu saja, yaitu bullying. Seringkali kejadian ini dianggap sebagai akibat dari kegagalan sosial di kalangan pelajar. Namun banyak faktor yang memperparah terjadinya perundungan di lingkungan pesantren. Ibarat pohon yang tumbuh dari akar yang tak kasat mata, akar permasalahan bullying perlu dicermati dan dianalisis secara cermat.
Biasanya, bullying dianggap hanya terjadi karena tekanan teman sebaya. Asumsi ini terlalu sederhana dan meremehkan kompleksitas fenomena ini. Ibarat sungai yang mengalir, banyak faktor yang mempengaruhi arah dan kekuatan arusnya. Menurut Ubaidillah Fatawi, Direktur SMA Bumi Cendekia dan Pondok Pesantren, salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perundungan adalah kurangnya komunikasi antara pihak pondok pesantren dan orang tua.
“Jika hubungan ini putus, anak menjadi lemah dan tidak mendapat dukungan saat menghadapi masalah,” ujarnya kepada waroengmedia.com.
Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), lebih dari 30% anak yang mengalami bullying tidak melaporkan pengalamannya kepada orang tua atau guru. Hal ini menunjukkan bahwa komunikasi yang kurang efektif dapat menimbulkan keputusasaan anak ketika menghadapi permasalahan di lingkungan pesantren.
Selain komunikasi, lingkungan pesantren juga berperan besar dalam menciptakan suasana yang mendukung atau menekan perilaku bullying. Menurut Alissa Wahid, koordinator jaringan GUSDURIAN, kemandirian pesantren yang berlebihan seringkali berujung pada kekerasan, termasuk perundungan.
“Ketika pesantren berusaha menyelesaikan permasalahan internal, seringkali hal tersebut bertujuan untuk menjaga reputasinya dibandingkan melindungi santrinya,” ujarnya di Dewan Pesantren 2024 (8/9).
Hal ini menciptakan suasana di mana siswa merasa tidak ada tempat yang aman untuk melaporkan perundungan.
Situasi ini diperburuk oleh kecaman masyarakat terhadap penindasan. Dalam banyak kasus, siswa yang melaporkan penindasan dianggap lemah atau terlalu sensitif. Ibarat matahari terbenam, keberanian berbicara seringkali terhalang oleh bayang-bayang rasa takut dan malu.
Pendidikan karakter juga menjadi faktor penting yang sering diabaikan. Pondok pesantren, lembaga pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai moral dan agama, bertanggung jawab dalam membentuk santrinya. Namun jika penelitian seperti ini tidak dilakukan secara terus-menerus maka dampaknya bisa sangat berbahaya.
Zuhdi Muhdlor, Ketua Tanfidziyah PWNU DIY, menegaskan, penting bagi pengurus pesantren untuk memberikan pemahaman dan toleransi yang kuat kepada santri.
Bullying seringkali terjadi karena kurangnya pemahaman terhadap perasaan orang lain. Tanpa empati, anak cenderung melakukan tindakan yang merugikan, jelasnya kepada waroengmedia.com.
Data dari UNICEF juga menunjukkan bahwa kurangnya pelatihan tentang karakter dapat meningkatkan potensi terjadinya bullying. Anak yang tidak diajarkan untuk saling menghormati dan memahami perbedaan rentan terhadap perilaku agresif.
Faktor lain yang tidak boleh diabaikan adalah kurangnya pengawasan di pondok pesantren. Banyak pesantren yang tidak memiliki sistem pengawasan yang efektif, sehingga santri bebas berperilaku sesukanya. Tanpa bimbingan yang memadai, penindasan bisa menjadi tidak terkendali.
Sebagaimana disampaikan Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU kepada waroengmedia.com (8/9), “Pondok pesantren memerlukan tata kelola yang baik agar seluruh santri merasa aman dan nyaman.”
Dalam laporan KPAI terungkap bahwa hampir 40% kasus bullying di pesantren terjadi tanpa campur tangan guru pembimbing. Hal ini menunjukkan bahwa pengawasan yang tidak memadai dapat memberikan ruang bagi berkembangnya perilaku bullying.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perundungan di sekolah Islam sangat kompleks dan beragam. Miskomunikasi hanyalah salah satu dari banyak faktor yang berperan. Penting untuk menyadari bahwa lingkungan, komunikasi, pelatihan karakter dan bimbingan membantu menciptakan suasana yang dapat mendorong atau mencegah intimidasi.
Terakhir, sebagaimana tanaman membutuhkan perawatan agar dapat tumbuh dengan baik, pesantren juga memerlukan perhatian dan perbaikan di berbagai aspek agar santri tidak hanya berkembang secara akademis, namun juga akhlak dan sosial. Jika semua pihak, mulai dari pengurus pesantren hingga orang tua, bahu-membahu menciptakan lingkungan yang aman, tenteram, dan mendukung, semoga bullying dapat dikurangi dan seluruh santri dapat berkembang sesuai potensi terbaiknya.