waroengmedia.com – Jam kerja sudah usai, namun kamu masih berada di meja kerjamu. Tumpukan tugas yang menunggu untuk diselesaikan seakan tiada habisnya. Situasi inilah yang sering dihadapi oleh banyak karyawan di berbagai perusahaan di Indonesia, dimana lembur di kantor sudah menjadi bagian dari keseharian mereka.
Banyak orang mungkin berpikir bahwa lembur hanya terjadi sesekali. Namun, bagi sebagian orang, praktik lembur dianggap biasa saja. Anda mungkin tidak menyadari bahwa suplemen sudah menjadi kebutuhan sehari-hari. Setelah penyesuaian jam lembur, banyak faktor yang mempengaruhi, mulai dari tekanan atasan hingga tenggat waktu yang ketat.
Lembur tidak hanya sekedar penambahan waktu kerja, tetapi juga menggambarkan kejadian-kejadian di lingkungan kerja. Beberapa karyawan mungkin melihatnya sebagai bentuk pengorbanan, sementara yang lain menganggapnya sebagai kerja lembur.
Yuk simak ulasan waroengmedia.com yang dihimpun dari berbagai sumber pada Rabu (23/10) tentang lima kebiasaan lembur yang diam-diam dianggap normal di sebagian besar tempat kerja! 1. Tenggat waktu sangat ketat.
Gambar: freepik.com
Salah satu alasan utama mengapa karyawan bekerja lembur adalah karena keterbatasan waktu. Banyak perusahaan menetapkan tenggat waktu yang hampir tidak realistis, sehingga memaksa karyawannya bekerja berjam-jam agar dapat menyelesaikan pekerjaan tepat waktu.
Beberapa perusahaan mungkin berpendapat bahwa batasan tetap adalah model bisnis yang terbatas. Namun hal ini seringkali menempatkan karyawan pada posisi sulit dimana mereka harus memilih antara melakukan pekerjaan dengan cepat atau mempertaruhkan kualitas pekerjaan. Kondisi seperti ini menimbulkan stres dan kelelahan yang berdampak negatif pada kesejahteraan mental dan fisik seseorang.
Dalam jangka panjang, pekerja yang terus berjalan melewati garis finis tanpa istirahat akan menghadapi risiko. Burnout tidak hanya berdampak pada performa kerja namun juga menurunkan kualitas hidup karyawan. Dengan kata lain, waktu lembur yang terbatas menciptakan siklus kerja lembur yang tidak ada habisnya. 2. Budaya ‘Datang pagi, pulang malam’.
Budaya kerja yang menganjurkan datang lebih awal dan pulang terlambat merupakan ciri khas beberapa tempat kerja. Di beberapa perusahaan, karyawan yang datang lebih awal dan pulang terlambat dianggap sebagai pekerja keras. Hal ini menimbulkan persepsi bahwa bekerja lebih lama berarti produktivitas lebih tinggi.
Beberapa perusahaan besar mungkin memberikan ekspektasi yang tinggi terhadap karyawan tetapnya, namun hal ini mungkin tidak sama dengan kualitas pekerjaannya. Karyawan yang terjebak dalam proses ini seringkali merasa bersalah ketika mereka pulang tepat waktu. Akibatnya, waktu luang dan kehidupan pribadi mereka terganggu sehingga menimbulkan ketidaksesuaian antara pekerjaan dan kehidupan pribadi (life balance).
Jika budaya ini tidak dijaga maka kesehatan fisik dan mental karyawan dapat terganggu. Banyak penelitian menunjukkan bahwa bekerja terlalu banyak meningkatkan risiko masalah kesehatan seperti penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan insomnia. Oleh karena itu, penting bagi perusahaan untuk mempertimbangkan kembali kebijakan jam kerja dan memberikan dukungan yang lebih baik bagi kesejahteraan karyawan. 3. Harapan yang tinggi tanpa batas waktu.
Foto: freepik.com/azerbaijan_stockers
Dalam beberapa kasus, ekspektasi yang tinggi dari atasan tidak dibarengi dengan jangka waktu tertentu. Pekerja diharapkan hadir setiap saat dan menyelesaikan pekerjaan dengan cepat, meskipun harus begadang hingga larut malam.
Manajer yang tidak menetapkan ekspektasi realistis mengenai tenggat waktu cenderung menciptakan lebih banyak stres bagi karyawan. Tanpa waktu yang cukup untuk merencanakan pekerjaan, karyawan terpaksa bekerja di bawah tekanan. Akibatnya, banyak karyawan yang harus bekerja lembur untuk memenuhi harapan tersebut.
Situasi ini menciptakan lingkaran setan dimana karyawan tidak memiliki pekerjaan yang cukup, meskipun mereka bekerja keras dan lama. Pada akhirnya, hal ini berdampak pada kesehatan mental dan fisik mereka serta menurunkan kapasitas kerja. 4. Mendedikasikan waktunya untuk bekerja.
Ia biasanya mendedikasikan waktu pribadinya untuk bersantai atau bersantai bersama keluarga dan teman. Banyak pengusaha yang menganggap hal ini sebagai hal yang lumrah, terutama karena budaya tempat kerja mendorong karyawan untuk siap bekerja saat dibutuhkan.
Jika Anda sering membawa pekerjaan ke rumah atau memeriksa email kantor di luar jam kerja, itu tandanya batasan antara kehidupan profesional dan pribadi Anda semakin kabur. Kondisi ini bisa membuat Anda merasa tidak “dimatikan” dari pekerjaan, sehingga bisa menimbulkan perasaan lelah dan tidak puas yang terus-menerus dalam kehidupan sehari-hari.
Menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi sangatlah penting. Waktu istirahat yang cukup dan efektif membantu meningkatkan produktivitas saat kembali bekerja. Sayangnya, banyak perusahaan tidak memahami pentingnya hal ini dan terus mempromosikan praktik lembur sebagai sebuah norma. 5. Tekanan sosial dari rekan kerja.
Gambar: freepik.com
Tekanan kerja lembur tidak hanya datang dari atasan namun juga dari rekan kerja. Di beberapa tempat kerja, karyawan yang sering mengambil cuti dianggap tidak memiliki komitmen atau “pemain tim”. Tekanan sosial ini seringkali memaksa pekerja untuk bekerja lembur apapun kondisi kerjanya.
Ketika budaya kerja lembur sudah tertanam dalam suatu organisasi, karyawan akan sulit untuk menolaknya, meskipun mereka mengetahui dampaknya terhadap kesehatan dan kesejahteraan mereka.
Kekhawatiran ini tidak hanya mengenai persepsi karyawan, namun juga bagaimana mereka dinilai oleh rekan kerja dan atasannya. Dalam beberapa kasus, praktik lembur merupakan ukuran loyalitas dan komitmen, meskipun hal ini tidak selalu berarti kinerja yang lebih baik.